Bicycle Taxi in Glodok Trading Routes

ojeksepeda
Text & Photo : Hari Setianto
Indonesian Culture – indonesiaculture.net. Nimbly cycling through the lines of vehicles, sprightly breaking through the cronic congestion in Glodok, searching for “mouse trails”, weaving in and out of narrow alleys, arriving ahead of mechanized transport. As one of the forerunners of early transportation in Jakarta, bicycle taxis still has its place in the market.
Gesit menggowes di sela-sela antrian mobil. Lincah memecah kemacetan kronis jalur perdagangan Glodok dan sekitarnya. Mencari “jalan tikus”, melenggang di gang-gang senggol. Sampai tujuan lebih dulu berbanding dengan ojek motor apalagi bis kota. Sebagai cikal bakal berkembangnya ragam moda transportasi angkutan umum di Jakarta – ojek sepeda masih punya pasar.

Though informal and never acknowledged by the government and therefore without operating licenses, bicycle taxis have been around since the 1970s, in Tanjung Priok. The scarceness of public transportation passing through the docks made bicycle taxis a favored choice for harbor workers.
Meski informal, tidak diakui pemerintah dan tanpa ada izin pengoperasian. Ojek sepeda sudah ada sejak tahun 1970 disekitar pelabuhan Tanjung Priok. Terbatasnya kendaraan umum yang diperbolehkan melintasi kawasan pelabuhan, membuat ojek sepeda menjadi pilihan antar jemput para pekerja pelabuhan.
Rampant around Tanjung Priok, bicycle taxi newcomers began to spread out in search for more space. Since 1980 till now bicycle taxis have become a uniqueness amongst the variety of public transport on the streets of Mangga Dua, Glodok and Stasiun Kota.
Marak disekitaran Tanjung Priok , para pengojek sepeda pendatang baru mulai bergeser mencari ruang. Sejak awal tahun 1980 hingga kini ojek sepeda menjadi pembeda dijalan raya dari beragam angkutan umum terbaru di sekitar kawasan perdagangan Mangga Dua, Glodok dan Stasiun Kota.
Motorcycle taxis, mikrolets, bajaj until Trans Jakarta buses, have never been considered a competitive threat by Heri Saanto,  fifty year old man who had been cycling his bicyckle taxi for 18 years. Heri hangs out beyond Stasiun Kota, where its crowded by bicycle taxis delivering goods, ferrying passengers or bicycle rent for the newly declared historic destination of Kota Tua.
Ojek motor, Mikrolet, Bajaj hingga Trans Jakarta tak lagi dipikirkan sebagai saingan oleh Heri Saanto – lelaki tua berusia 50 tahun yang sudah mengayuh sepeda ojek selama 18 tahun. Heri mangkal lebih menjauh dari Stasiun Kota – yang sudah sangat ramai oleh pengojek sepeda pengantar orang maupun barang. Apalagi kini marak ojek sepeda sekaligus sepeda sewaan untuk berkeliling di kawasan Kota Tua yang belum lama ini dijadikan destinasi wisata sejarah.
Gabunganojek1
Kampung Kalibaru, Jembatan Besi during the early 1990s was a new area for bicycle taxis. The lack of motored public transport due to the limited road capacity which causes heavy congestion has been a place of choice for Heri.
Kampung Kalibaru, Jembatan Besi di awal tahun 1990 menjadi jajahan baru mangkalnya ojek sepeda. Minimnya angkutan umum bermesin dikarenakan areal yang luasnya tanggung dan ruas jalannya yang tak lebar -  membuat orang berebut memakai jalan dengan kendaraan pribadinya, hingga akhirnya berujung pada kemacetan. Wilayah baru ini menjadi pangkalan Heri.
Short distances when done by mikrolets in heavy congestion are felt endless and bicycle taxis have become solutions for the predicament by traveling through narrow alleys cuts down the time needed to travel.
Jarak yang pendek bila ditempuh dengan angkutan umum mikrolet dalam kemacetan parah tentu bukan saja menyebalkan tapi terasa tak akan pernah sampai tujuan. Ojek sepeda menjadi solusi, menghindar dari jalan utama justru mencari gang-gang senggol (gang sempit yang hanya bisa dilalui oleh dua orang bersamaan dengan bersenggolan) untuk menghindari kemacetan sekaligus jalan pintas yang mampu mempersingkat waktu tempuh.
Heri’s expertise in driving his bicycle taxi to deliver passenger or goods are of no doubt to his long time customers such as Abun, 34 years old, a computer repairman in Mangga Dua and Glodok. Abun often entrusts Heri to deliver computers for repair to his shop and also return them to their owners. The computers are kept safe for hard jolts by the leather covered thick cushion on Heris bike.
Kelihaian Heri mengayuh sepeda ojeknya dalam mengantar orang maupun barang sudah tak diragukan lagi oleh para pelanggannya. Abun 34 tahun seorang pengusaha perbaikan komputer dikawasan Mangga Dua dan Glodok, kerap mempercayakan Heri mengambil perangkat komputer pelanggan-pelanggan tetapnya  untuk di service ke tokonya. Begitu juga sebaliknya, mengantar lagi perangkat komputer yang telah sehat. Komputer aman dari goncangan dalam dudukan jok busa empuk berlapis kulit ditunggangan penumpang sepeda ojeknya.
Indonesiaculture.net tracked Heri’s routes that noon when he was delivering a computer to Ko Abun. Abun lives not far from Heri’s rented room. Communication through mobile phones cannot be afforded by Heri, as a result Abun comes over every time he needs Heri’s services which is of significant value to Heri.
Indonesiaculture.net menelusur jalur lalu lintas Heri – yang siang itu tengah bersiap dari kontrakannya untuk mengantar komputer atas pesanan Ko Abun. Abun tinggal tak jauh dari kontrakannya. Kontak pesan melalui teknologi telepon seluler tak mampu dijangkau Heri. Jadi Abun tinggal datang dan menyuruh setiap kali butuh jasanya. Uang jasanya lumayan dari orderan ini.
With a gross income of six hundred thousand rupiahs per month, this man form Brebes has to send half of it to his family in Brebes. The money is sent through the ‘Persatuan Warung Pekalongan’. His hard work and economical way of living is done for the sake of his family.
Dengan penghasilan kotor enam ratus ribu sebulan, pria asal kota Brebes ini setiap setengah bulan harus mengirimkan setengah dulu penghasilan kepada keluarganya di Brebes. Uang dikirimnya melalui perkumpulannya bernama Persatuan Warung Pekalongan. Kerja keras dan hidup seadanya seorang diri di Jakarta demi keluarga.
Gabunganojek2
In his small rented 2,5m X 1,5m in width and X 1,5m in height room without lighting at all, Heri sleeps soundly from his tiredness. “It is only a four hundred thousand a year room, what is important is that there is a place to lie down.”, says this grandfather of two grandsons.
Dalam kontrakan sempit berukuran panjang 2,5 meter,  lebar 1,5 meter dan tanpa penerangan lampu 5 watt sekalipun – Heri pulas ditidurkan oleh rasa lelahnya. “ Maklum cuma bedeng empat ratus ribu setahun yang penting bisa selonjor,” celetuk kakek 2 cucu ini  ketika kami kesulitan dalam berdiri direndahnya bedeng yang hanya setinggi 1,5 meter.
We left Heri’s place while he was busy releasing the chain from his bike to lock it with the pole that was the supporting beam of his neighboring upper compartment. Locking the bike for safe keeping was not easy if he wanted to keep it from being stolen for the second time though his bike was not of the legendary Dutch Gazelle or Simplex. “It could be sold per kilo”, jokes Heri with his unique accent akin to Tegal shops keeper.
Bergegas kami meninggalkan kontrakan, sementara Heri sibuk melepaskan rantai pengunci dibatangan sepeda yang melingkar ruwet ditiang kayu sekaligus menjadi pondasi penopang lantai dua kontrakannya. Menguncinya memang harus ruwet kalau tak ingin kehilangan sepeda untuk yang kedua kalinya, meski sepedanya bukan bermerek Gazelle atau Simplex buatan Belanda yang legendaris. “Dijual kiloan juga laku,” guyon Heri dengan logat unik mirip penyaji di Warung Tegal.
The bicycle labeled Phoenix made in China was bought in 1991 for five hundred thousand and was strong enough to become a cargo bike and could carry maximum loads up to a hundred kilos.
Sepeda bekas berlabel Phoenix buatan China yang dibelinya tahun 1991 seharga lima ratus ribu sudah cukup kuat menjadi sepeda angkut – bak fiets istilah dalam kalsifiksasi fungsi sepeda. Kali ini bak fiets milik Heri dipakai untuk mengangkut perangkat komputer yang sangat ringan, tentu tak sebanding dengan beban maksimal gabah 1 kuintal yang mampu dibawa sepeda angkut ini.
Again Heri pedaled his bike when he saw us trying to catch up with him. Things became better upon entering the congestion free historical tourism destination of Kota Tua. Cycling here was fun, especially keeping in mind the fact that bicycle developments were largely affected by Dutch colonialists. They brought their bicycle industrial production to Indonesia for them to bike around  and enjoy Indonesia’s nature.
Lagi-lagi Heri mengayuh santai sepedanya ketika melihat kami kewalahan menyusulnya. Baru nyaman ketika memasuki kawasan wisata sejarah Kota Tua lepas dari kemacetan. Bersepeda disini mengasyikkan, mengingat sejarah perkembangan sepeda yang banyak dipengaruhi kaum penjajah terutama Belanda. Mereka memboyong sepeda produksi negerinya untuk dipakai berkeliling menikmati segarnya alam Indonesia.
Observing Heri pedal through the former important buildings of the Dutch era was as blue blood natives who took after the trend of cycling in the 1950s. At that time Dutch old style bicycles were prestigious means of transportation.
Melihat Heri menggowes melewati bangunan-bangunan penting peninggalan Belanda ini, seakan menandingi para pribumi darah biru yang mulai tahun 1950an tertular kebiasaan bersepeda para penjajah. Saat itu sepeda Dutch old style ini menjadi alat transportasi yang bergengsi.
Though passing though Kota Tua often times, Heri did not get to know further the functions of these historic buildings, delivering goods or pursuing passengers was more important to him. When we passed Museum Fatahillah, this classical baroque architecture was understood by him as a prison.
Meski sudah tak terhitung berapa kali melintasi kawasan Kota Tua, Heri tak sempat memahami lebih jauh fungsi gedung-gedung bersejarah ini. Melintas untuk mengantar barang atau mengejar penumpang itu yang utama baginya. Seperti  ketika kami melawati samping Museum Fatahillah, bangunan berarsitektur gaya barok klasik ini –  dipahaminya sebagai penjara.
The prison was indeed a part of the building which was built in 1707 upon orders from Governor General Johan Van Hoorn. Its main purpose was as City Hall. This building is similar to the Dam Palace in Amsterdam. Consisting of a main building with two wings of structures on the East and West, these side structures were used as offices, court chambers while underground levels were used as a prison.
Penjara memang salah satu bagian dari gedung yang dibangun pada tahun 1707 atas perintah Gubernur Jendral Johan Van Hoorn. Fungsi utamanya sebagai Balai Kota. Gedung ini serupa dengan Istana Dam di Amsterdam, Belanda. Terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap dibagian timur dan barat. Ada juga bangunan sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan dan ruang-ruang bawah tanah yang dipakai sebagai penjara.
Through a shortcut we appeared at Kalibesar which was used for the loading and unloading of sea cargo in the 1740s then we passed Tiang Bendera Street and into Bandengan Street than slowed down to enter a narrow alley.
Melewati jalan tembus kami kemudian menyisir Kalibesar – yang dulunya di tahun 1740 digunakan sebagai jalur lalu lintas kapal bongkar muat barang. Terus mengayuh, tak jauh sejak melewati Jalan Tiang Bendera – Heri mengarah ke Jalan Bandengan. Sudah tak jauh lagi tanda-tandanya, Heri mulai memperlambat laju sepedanya masuk ke gang sempit.
gabunganojek3
Heri gripped the handle brakes hard and stopped in front of a red fenced house. A man far older than Heri approached and received the repaired computer which belongs to his son. After a receiving a tip, we had a short break before parting ways. Heri desires that he retire the next year and that he could look after his grandchildren. His youngest child was about to finish high school while the rest had got married.
Tangannya kuat mencengkram rem menghentikan sepedanya didepan rumah berpagar merah, sampai sudah. Seorang lelaki yang jauh lebih tua dari Heri mendekat menerima perangkat komputer milik anaknya yang baru sehat lagi. Setelah “salam tempel” dari lelaki tua atas jasanya mengantar barang, kami rehat sebelum berpisah. Dalam obrolan akhir, Heri berkeinginan untuk pensiun tahun depan. Anaknya yang paling kecil akan tamat SMU, kakak-kakaknya sudah berkeluarga, tak terbendung keinginan Heri untuk mengasuh cucu di Brebes.
Leaving Jakarta as his source of livelihood since 1976 will certainly bring a lot of memories and also expectations that bicycle taxis may to meet the fate that they would not like becak which had already been evicted with disturbing the peace conviction. Bicycles are environmentally friendly and possess long history in Jakarta. Hobby Horses and Celeriferes must be proud that their first bicycle in 1790 has brought wellbeing to the lives of bicycle taxis.
Meninggalkan Jakarta sumber kehidupannya sejak tahun 1976 akan banyak kenangan yang terbawa. Juga meninggalkan harapan – agar ojek sepeda nantinya tidak bernasib sama seperti becak yang sudah lebih dulu digusur dengan vonis mengganggu ketertiban. Sepeda sebagai kendaraan ramah lingkungan punya sejarah panjang di Jakarta. Hobby Horses dan Celeriferes pasti bangga cikal bakal sepeda pertama yang dibuatnya ditahun 1790 membawa manfaat bagi kehidupan para pengojek sepeda.

Incoming search terms:

  • berdirinya jakarta taxi bike
Source : http://www.indonesiaculture.net/2010/01/bicycle-taxi-in-glodok-trading-routes/